saking google |
Maulid Nabi yang dikenal sebagai peringatan hari lahir
Muhammad SAW ternyata lahir dari peristiwa yang menyejarah. Pada masa pemerintahan
Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193) di
Irak, di tengah Perang Salib untuk memperebutkan Yerusalem semangat juang
pasukan muslimin meredup. Abu Said al-Qakburi, Gubernur Irbil-Irak menggemakan
cerita kerasulan bertepatan dengan momentum kelahiran nabi, yang ternyata mampu
mengobarkan kembali semangat juang pasukan muslimin melawan pasukan Eropa.
Di tengah
hiruk pikuk rasa sosial bangsa Indonesia yang mengering, rasanya tidak layak
untuk meremehkan keteguhan rakyat untuk bertahan. Dengan mudahnya, pengemis berumah gedongan mengatongkan tangan di
jalanan atau di portal ATM. Sudahlah, mereka pikir tak ada pekerjaan lain? Kitalah
yang acuh dan membiarkan orang lain menyerah pada nasib. Manusia Indonesia
bukannya kurang prihatin untuk menyelesaikan masalah kecil yang mendera bangsa.
Tapi, kebanyakan kurang mengedepankan kecerdasannya dalam mencontoh dan
menyikapi keteladanan diantara kita.
Bersyukur,
jati diri Rasulullah kini masih ada dalam keteladanan masyarakat bangsa
Indonesia. Salah satu catatan dari portal internet berikut kiranya pantas
dijadikan life modelling: ceritanya
ketika seorang karyawan sedang ngobrol dengan seorang kakek pemulung. Perut
kakek itu keruyukan, tidak punya uang buat makan batin si karyawan. Si karyawan
berinisiatif membelikan makanan dan berkilah kalau teman yang ia pesankan
makanan tak datang. Si kakek menolak, alasannya tidak akan mampu bayar. Alhasil,
si karyawan memaksa menerimanya. Si kakek malu dan berkata “saya inginnya beli
makan sama uang sendiri karena saya bukan pengemis”. Miris sekali.
Kakek itu
mengingatkan pada Rasulullah yang membebat perutnya dengan kain berisi batu untuk
menahan lapar dan berpuasa ketika di rumahnya tak didapati apapun untuk
dimakan. Semua itu dilakukan untuk menahan lapar. Seperti tak menghiraukan
kondisinya, si kakek memasukkan uang yang baru saja diberi oleh karyawan ke
kotak amal.
Persepsi Refleksi Keteladanan
Percakapan
yang cukup spontan terjadi ketika Rasulallah menjenguk Sa’d ibn Abi Waqqash.
Sa’d bermaksud memwasiatkan hartanya guna infaq di jalan Allah. Sa’d menanyakan
pada rasul “Bolehkah dua pertiganya?” Rasul menjawab Jangan. “Separuhnya?”
Rasulallah menjawab jangan. “Bagaimana jika sepertiganya?” mengiyakan. Realisasi
diri teladan Rasulallah adalah kebijaksanaan yang spontanitas. Beliau tak
meninggalkan sedikitpun pertimbangan yang harusnya dipikirkan matang-matang.
Rasullallah pernah mengajarkan “Katakan yang
benar, meskipun itu pahit”. Nampaknya ajaran itu amat mendera bagi Muhammad ibn
Sirin. Ibn Sirin menemukan bangkai tikus pada minyak yang dikulaknya. Untuk ia
menjaga dari fitnah Ibn Sirin membuang semua minyak tersebut. Padahal, uang
untuk membayar minyak berasal dari hutangan yang berakad 40.000 dirham. Betapa
mulianya ia menepis spekulasi untuk menanggung keraguan pembelinya atas najis
tidaknya minyak itu. Bisa saja mengelak dengan melimpahkan pada pemasoknya.
“The best way to
find your self is to lose yourself in the service of
other.”
(Mahatma Gandhi)
(Mahatma Gandhi)
Rasul berada
ditengah-tengah umatnya untuk berusaha melayani dengan sepenuh jiwa tenaganya. Terinsiprasikah
kita untuk menjadi pendengar setia, penutur yang paling sabar, penyayang bagi
mereka yang mengacuhkan, membenci, dan memusuhi kita. Rasul, dengan
keteladanannya didapati melenyapkan diri ditengah tentangan sejarah jahiliah.
Studi Keteladanan
Konon
ada hamba-hamba Allah yang mampu membuat pada syuhada dan para nabi cemburu.
Para sahabat sulit menemukan sosok yang dimaksud, penuh penasaran bertanya pada
Rasullallah “Siapakah gerangan mereka?”. Meski sederhana, ternyata, tak dikiranya
sebuah Hadis Qudsi dari Imam Ahmad dan At-Tirmidzi menjelaskan yang mereka
mereka maksud, adalah “Orang-orang yang saling mencintai demi keagunganKU”.
Adakah diri kita sendiri patut dicemburui. Kita tidak bisa menganggap terlalu
sederhana orang lain dan tidak boleh melihatnya terlalu sulit.
Nilai
tentang kecemburuan tersebut akan sulit
ditangkap dari pandangan psikologi barat. Ada kalanya tidak toleran terhadap
budaya timur. Paduan Psikologi dengan warisan Rasul menjadi rujukan Kepribadian
dalam Psikologi Islam. Kesan, menyertai perjalanan kepribadian manusia yang
statis menuju aktualisasi diri yang dinamis. Rasullallah telah memberikan
patokan yang mengkluster tipologi kepribadian muslim, baik yang sifatnya umum
maupun khusus. Salah satu buktinya, Psikologi akan membutuhkan lebih banyak
teori untuk menjelaskan diri seseorang yang berhijab.
Berkembangnya
studi dan riset akan kejiwaan manusia, menimbulkan bermacam pandangan tentang
manusia itu sendiri. Ajaran Islam yang lahir lebih dulu, dengan segala tatanan
dan penganutnya memiliki suatu keterbukaan beraktualisasi untuk merealisasikan
diri agar tidak bertentangan. Namun bagaimana cara menyikapi pertentangan
antara motif realiasi diri dengan nurani ketika melihat orang yang melakukan
bom bunuh diri. Kiranya studi-studi ilmiah yang adaptif harus lebih tajam mengupas
kondisi demikian. Tendensi pada jihad tidak harus selalu menjadi alasan untuk
mengorbankan jiwa-jiwa yang dirahmati. Rasul tidak mengajarkan yang begitu
kejam pada sesama.
Di
Indonesia, terjadi ikatan antara budaya dan ajaran islam. Di Jogjakarta maulid
Nabi dirayakan dengan upacara Sekaten. Intinya menyajikan rasa syukur dengan
membuat gunungan jajan pasar yang akan direbutkan masyarakat yang menghadiri
Sekaten. Adat lain di Kecamatan Kaliwungu-Kendal, Ketuin atau Weh-wehan yaitu
adat masyarakat untuk saling mengantar jajan. Ritual tersbut sekedar akulturasi
yang perlu dipahami maknanya dengan lebih mendalam.
Perayaan
Maulid Nabi ditengah pertentangan makna antara tradisi kuno atau ritual mistis.
Tidak untuk meninggalkan tugas mulia umat muslim untuk merealisasikan
keteladanan yang diwariskan. Tanpa menafikkan batas bit’ah, Maulid Nabi dapat
digunakan untuk memuji junjungan kita dalam Islam.
0 komentar:
Posting Komentar