Mengarah pada percakapan Ajeng dengan Ayahandanya, merajuk.
"Ayah, pabila putrimu ini jatuh hati pada seorang saja dari sekian yang datang, adakah keringanan hati sahaya untuk mengalah?"
"Ayah butuh penjelasanmu yang lebih merajuk putriku."
"Ah, ayah tak usah berpura pura. Tak melihatkah ayahanda pada tatapan sendu putrimu ini, hatinya mulai sendu dengan kedatangan pangeran dari seberang. Ajeng ingin meluruh rasanya."
"Putriku, yang cerdas dan cantik, tak elok meski kita hanya berdarah sunda meletakkan begitu saja harga diri demi memenangkan keinginan hati. Kau tentu dapat berpikir dewasa nan bijak, segitu neng?"
"Siap ayah, sahaya tak hendak merajuk lagi dan mencoba meniti keinginan hati yang begitu cepat menyelinap. Restui Ajeng ayah, restui pula jika nanti sahaya dapati calon menantu kerajaan garut yang agung ini."
Putri Ajeng, meredam rasa terkesannya. Entah pada sang pangeran, kakek Panji, atau ketampananan pangeran lain dari seberang seberang jauh yang lain.
Guratan cerita kali ini bakal banyak datang dari mata putri yang mengamati satu satu penantangnya. Kiranya hatinya siap takhluk pada anak panah yang dihunuskan salah satu pangeran seberang.
Nampaknya kakek Panji dan pengeran karibnya bersaing ketat, meski disusul saingan dari pangeran seberang lain. Mereka berdua sudah menunjukkan kelas yang lebih tinggi, ketimbang yang lain. Sang Putri terusik, barangkali khawatir yang menaklukannya nanti bukanlah perjaka yang diingininya.
Luar biasa, dari lima kali panahan dua anak panah menuju pada titik yang sama. Salah satu anak panahnya terpental karena mengenai anak panah yang lebih sulung menancap. Tak kalah yang lebih sulung pun patah. Nampaknya seorang putri sudah bergejolak dengan emosinya, ketakutannya, dan ketidak sabaran menunggu kesatria yang menaklukannya. Hari ini juga, harus.
Diselesaikannya tantangan pertama, 7 orang berimbang dalam sarat yang sama, dalam kemampuan berbeda kelas. Ditantangan kedua, sang putri lebih menunjukkan harga dirinya dalam kemampuannya menyeimbangkan gerak diatas lontaran batang bambu yang sudah tergeletak di atas becekan sawah garapan. Menunggu siapa yang siap dipermalukan penuh lumpur.
Kali ini, sang putri mencoba tersenyum anggun. Menyilakan penantang lain dipermalukan lebih dahulu. Berdegup-degup jantung keenam yang tersisa, menahan tawa anggun nan menantang dari sang putri.
Bersambung.....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar