CATATAN REINGKARNASI 6



0 komentar
Tak kurang bodoh penantang penantang yang lebih dahulu. Satu satu teperosok bergumul dengan lumpur sawah. Jatuhlah hargadiri bangsawan kalau sudah ditertawakan sekian banyak orang, apalagi didepan gadis yang hendak dilamar.

Sekarang giliran Panji. Diinjak injaknya gelagah untuk menentukan pijakan pertama. Pelan, penuh pasti, insting menuntun kaki menapaki batang bambu yang melintang. Licin bergoyang goyang membuat keyakinan setiap pijakan terganggu keteguhannya.

Ditengah gelagah jalan aku curi cerita dari batin kakek Panji. Jantungnya berdegup kencang mengiringi batinnya yang menggalau. Ada yang tertinggal, mata batinnya melirik ke tempat sang putri berdiri. Terpesona.
Tak sampai hati kakek mengingkari niat untuk mempersembahkan kemenangannya kelak pada Pekalongan, batinnya sudah melonggarkan sedikit niatnya. Niatnya diangguni sang putri dan pesonanya, sedikit tersandar tak tegak lagi.

Coba kakek hentikan cerita yang aku curi tadi. Semua terkejut, kakek tiba-tiba ikut terhenti di atas gelagah bambu yang tak pernah seimbang. Seketika  certia batin yang aku curi tadi selesailah.

Nampaknya kakek sadar telah kedatangan maling keluputan dalam batinnya. Setinggi itu sadarnya hingga tak terkata. Entah beberapa kedipan mata, kakinya mampu menginjak bambu hingga tak geser dan bergerak. Pasti mengerti niat kakek yang seimbang dan setia kembali.

Sekejap kemudian berlalirah kakek Panji dengan janji kemenangannya. Tanpa sempat menyentuh lumpur sawah yang bisa saja melumuri dengan rasa malu.

Nampaknya kakek Panji tak sadar, menebar senyum pada semua. Ada satu utamanya mengarah pada sang putri.

Lanjutlah pada tantangan terakhir, akankah menang?

Bersambung.....

0 komentar:

Posting Komentar

newer post older post