Sore ini menemukan satu hal menarik lagi dari kumpulan anak-anak yang bermain layangan di depan kampus. Diantara banyak kumpulan anak ada seorang anak berlari berputar-butar di lapangan basket, mencoba sendiri menerbangkan layangannya. Seorang diri menarik dan merenggang mengadu benang gelasan. Heran sekaligus takjub melihat pejuang tunggal dengan layangan hijaunya menantang yang lain. Mungkin yang dipikirkannya hanya berjuang untuk bertahan hingga tenggelamnya matahari. Lama memperhatikannya dengan layangannya yang cukup lama menangkap kencangnya angin sore tadi akhirnya sang pejuang tunggal tadi tumbang. Layangannya pelan terbawa angin. Wah... tak disangka pejuang kecil itu tak menyerah dan kemudian mengejar layangannya. Hem... sang pejuang tunggal yang masih kecil sungguh menunjukkan kegigihannya. Akhirnya harapan baru dimulai. Sang pejuang tunggal meraih benang layangannya yang masih menggelantung dengan layangan yang masih mengudara. Beberapa menit memperbaiki ikatan layangan sang pejuang kecil memulai lebih awal lagi. Merasakan tiupan angin. Kemudian berputar-putar lagi untuk menaikkan layangannya. Membuat tarikan kecil dengan cepat kemudian melepaskan benang yang lebih panjang lagi. Begitu seterusnya hingga layangannya sudah menyambet sebuah layangan lagi. Sang pejuang tunggal bertarung lagi. Ia melawan 2 layangan sekaligus. Geram melihatnya aku ikut sorak-sorak dalam hati dengan aksi heroik anak-anak tadi. Entah siapa yang bertahan dan menumbangkan cahaya senja. Namun di lapangan sore inilah kumpulan anak-anak telah menunjukkan sifat-sifat semesta alam. Heroik, sportif, gigih, mandiri, kaya akan harapan, dan semangat yang terus mengalir bagai angin sore tadi. Meski tak seinspiratif anak-anak dalam "The Kite Runner" tapi mereka punya masa kecil yang sangat layak diingat. Langit padam menjadi tanda syukur dan penghargaan atas perjuangaannya dengan sore ini.
Inilah sedikit cerita semangat dari masa kecil yang mungkin dulu kualami dan masih bisa aku lihat.
#Diambil ketika bermain basket di lapangan A2 UM bersama Isa dan Dwi
0 komentar:
Posting Komentar