MENGUPAS DIARI PERJALANAN AVEZAHRA
Judul buku : & (dibaca: ampersand)
Penulis : Mutia Husna Avezahra
Penerbit : UKM Penulis Publishing
Tahun terbit : 2012
Tebal halaman : 106 halaman
Dijelaskan dalam pembuka buku & (Ampersand): sebuah simbol yang dikutip Avezahra sebagai judul bukunya yang memunculkan rasa penasaran untuk mendalami bukunya. Benarkah penulis tidak memiliki kosakata yang benar-benar tepat untuk menghiasi sampul depannya ataukah penempatan simbol & memiliki rahasia tersendiri, rasanya ada ungkapan yang terus bertanya? Judul di atas sementara cukup bisa mencandu penasaran saya untuk puas pada isi buku ini yaitu: journey: portofolio, dan ide. Buku ini merupakan serangkaian catatan perjalanan jauh, laporan pengindraan jarak dekat, tuangan ide sepulang dari petualangannya ke berbagai galaksi pemikiran.
Journey
Subbab journey merupakan catatan perjalanan penulis sewaktu mengunjungi Semeru, Jogjakarta, dan Bromo. Dalam pembuka catatan perjalanannya ke Semeru, sempat-sempatnya penulis yang mengutip ungkapan Gunawan Muhammad tentang kebebasan sejati yang tak terpaku apapun. Tak sempat berpikir lama, penulis mengungkapkan bahwa pendakian gunung merupakan salah satu bentuk kebebasan sejati untuk meluapkan energi berlebihan dari anak muda. Untuk sampai ke puncak membutuhkan energi kebebasan yaitu tekat, nekat, dan sahabat. Jauhnya trek dari ranu Kumbolo, tanjakan cinta, Oro-Oro Ombo, Cemoro Kandang, Kali Mati, dan Arcopodo hingga ke Puncak Mahameru harus dimulai dari tekat sekuat kereta api. Nekat akan men-carge ulang kotak energi, dan sahabat yang akan memberikan kata-kata untuk keindahan di puncak Mahamera.
Jogjakarta merupakan diari berisi kisah nostalgia dan pelarian dari rutinitas. Mengarungi Malang-Surabaya-Jogjakarta di atas bus pasti akan menemui banyak pengamen yang bermurahati menghibur penumpang. Sampai di Jogjakarta. Tepat di Malioboro, akhirnya bernostalgialah Avezahra dan Ganis dari Malang serta Bogi dari Jakarta yang dulunya merupakan sekawanan pelajar di sekolah yang sama. Dengan rincian biaya dalam diari, setidaknya mereka berhasil ngicip kuliner di warung terkenal Raminten, menjenguk Sultan di Keraton, menikmati angin laut Parangtritis, dan tempat yang jarang terdengar yaitu Gumuk Pasir. Perjalanan menguji ketangguhan petualang untuk mempresisikan waktu, biaya, dan tempat yang bisa dicapai.
Siapa yang tidak tahu, kalau nama tengger berasal dari legenda Roro Anteng dan Joko Seger? Selain menceritakan legenda tersebut, penulis juga menuangkan jiwa petualangnya dalam narasi perjalanan malam ramadhannnya ke Bromo berserta gerombolannya. Menjemput matahari terbit sambil sahur sepertinya akan menjadi ritual yang menyejarah. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Tak lupa, penulis mencantumkan rasa terimakasih atas segala keindahan yang dibawa pulang dari tanah Tengger.
Portofolio
Sungguh tidak menyangka kepekaan akan lingkungan sekitar dapat diwujudkan ke bentuk portofolio yang begitu menarik. Peta hijau pelari pagi ialah sebuah diari yang diformat seperti rute wisata milik biro pariwisata tapi minus gambar. Selain diajak menelusuri jalanan berselimut pohon, tempat yang ditawarkan terlihat sangat mewah jika kita membaca portofolio yang satu ini. Salah satunya tribun stadion Gombong yang disihir menjadi amfiteathre dengan mantra analogi penulis. Wisata kuliner di pinggir jalanan pagi menjadi penutup yang pas pada portofolio pertama ini.
Cerita di balik kumpulan gedung kampus hari ini menjadi bahan portofolio. Seperti tengah meliput pemilu kampus dan reaksi dari alam di sekitarnya, hari ini kampus riuh gelaran orasi dan tempelan pamflet memancing suara sumbang tanpa makna dari para pengikut awam pesta demokrasi di kampus. Suara pribadi dalam diari ini mengatakan politik kampus sama halnya dengan negara kita yang memanfaatkan perbaikan melalui forum politik untuk berebut kekuasaan. Masih banyak cacat pemikiran yang belum pulih seutuhnya.
Kali ini penulis sedang mengisi diarinya di perlintasan jalan raya. Temanya tentang tokoh inspiratif bernama mbak Endang yang merupakan juru lalu lintas. Mbak Endang beserta rekan sesama juru lalu lintas dalam biografinya diceritakan setiap hari menyandang peluit untuk mengatur para pengguna jalan. Mendapat upah dengan memungut uang yang dijatuhkan para penguna jalan. Saya jadi ikut memuji mbak Endang yang menurut penulis ialah sosok dengan hati kecil yang mulia. Di tengah polusi yang selalu menghampiri mbak Endang tetaplah manusia pancasila yang patut diakui keberadaannya yang jauh lebih baik dari segumpal daging yang hidup dari korupsi.
Avezahra, masih tak melepas diarinya ketika berkumpul bersama keluarga di depan layar TV. Kadang suatu alasan takkan mampu menjelaskan gejala yang membuat manusia menyukai sesuatu. Seperti rasa ingin tahu yang ditulis dari ketertarikan sang ayah pada sinetron di salah satu TV swasta. Tertulis analisis mengenai sinetron yang akhir-akhir ini menjadi trend di keluarganya, kalau alur ceritan, tokoh, penulisan skenarionya diciptakan untuk menjual komoditi sinetron tersebut atas nama tema tertentu. Cukup observasi hari ini.
Ide
Salah satu perjalanan terjauh yang pernah kita alami ketika ide bergentayangan di dalam buku. Buktinya, akan sangat sulit mengembalikan ide kita ke kondisi sebelum terjebak ke kalimat-kalimat yang membawa jutaan gerbong gagasan penulisnya. Ide terbawa di dalamnya, tersesat entah kemana.
Bab terakhir diari perjalanan ini akan banyak diskusi untuk menemukan jalan pulang. Penulis sedang terjebak dalam “Bumi Manusia” bersama pak Pram. Mereka melihat fenomena zaman penjajahan Belanda kepada orang-orang pribumi dari dalam ide paten milik pak Pram tersebut. Diperkenalkan Nyai Ontosoroh yang merupakan tokoh fenomenal di “Bumi Manusia” yang memperjuangkan ketidakadilan pemerintah Belanda yang memisahkan cinta putrinya pada seorang pribumi. Pak Pram begitu baik hati untuk mengambil sudut pandang sebagai Jean Marais yang menuturkan berbagai ungkapan filsafat ajaib. Apapun yang terjadi pada sejarah, pak Pram ingin mengingatkan posisi kita yang hanya dapat melihat dan menceritakannya, meskipun menyimpan berbagai kebenaran lain dalam diri kita.
Berpisah dengan pak Pram, nampaknya penulis masih terngiang pada ungkapan pak Pram; “adil sejak dalam pikiran”. Masa lalu akan pelajaran kesenian mampu mengalihkan dari pemikiran pak Pram tadi. Lirik “Kambanglah Bungo” dilantunkan bersamaan dengan gerakan seirama tangan bu guru yang mengiringi riuhnya suara paduan kelas. Pelajaran favorit ini dijadikan subjek perbandingan untuk menilai pengetahuan. Ada kutipan dari bung Hatta bahwa bahwa ilmu pengetahuan itu mengantarkan kita pada substansi kebenaran. Itu artinya, kita harus dengan rendah hati menengok apa yang disebut esensi dari sebuah proses belajar mengajar. Begitulah, penulis sendiri tak mau kalah dengan bung Hatta yang kemudian mengukir pemikirannya dalam diari bahwa “...seni dan esensinya benar-benar menjadi bekal bagi saya untuk selalu mencari seni dan esensi dari setiap objek pembelajaran yang ada di hadapan saya (halaman 99)”.
“Sesi Diskusi Bersama Manusia, Setan, Malaikat dan Nasib (judul halaman 101)” untuk menempuh perjalan teakhir dan segera menutup diari ini. Catatan terakhir ini berisi tentang refleksi dari apa yang telah terlalui dari perjalanan yang panjang ini. Isinya tentang eksperimen imajiner akan kesadaran+ketidaksanaran. Bagaimana kita membayangkan keadaan ketika Thomas Alfa Edison menguji lampu ke 700 sekiannya, Steve Jobs ketika masih magang di India sebelum membangun Apple, dan ketika kita masih menunggu hasil pemilu DKI Jakarta yang lalu semuanya akan membawa ke zaman ketika sekarang ini semuanya belum benar-benar ada. Ada pula dongeng seorang yang sedang mencari tiga ransel. Ransel pertama untuk diisi kesedihan, kekecewaan, dan perasaan lain untuk dihanyutkan ke sungai. Ransel kedua untuk dusta dan dosa yang akan dibakar. Ransel ketiga untuk diisi bekal hal-hal berguna untuk perjalanan. Kemudian yang orang itu bingungkan kemana ia akan berjalan? Perjalanan tekahir ialah mempertanyakan siapa diri kita, tugas-tugas kita, dan coba untuk menjawab pertanyaan sendiri.
Kesan-kesan
Jika terus terdiam takkan ada sesuatu untuk dimulai. Setelah selesai membaca buku ini akan banyak pertanyaan dan kritik terhadap pandangan subjektif penulis. Salah satunya kenapa banyak fantasi dari pak Pram, Bung Hatta, Gunawan Muhammad hampir selalu hadir melengkapi karya ini. Kritik terhadap pandangan subjektif penulis, salah satunya pada suara sumbang pengikut awam demokrasi di kampus yang perlu didasari suatu alasan.
Dengan mencermati setiap makna di setiap halaman buku ini akan melatih kepekaan berpikir. Tutur kata di setiap baitnya terasa istimewa dan tetap lugas sambung bersambung. Meskipun pada beberapa akhir bacaan terkesan kurangnya keberanian untuk menahan pemikiran pembaca pada suatu kesimpulan dari kelebihan ide yang ada. Kelebihan buku ini adalah penulis mengandalkan logika, rasio, dan taburan halus perasaan untuk menuangkan gagasannya. Dalam beberapa gagasan dalam buku ini juga mengajarkan masih banyak pemikiran yang belum terjamah dan masih meluap meskipun selesai membaca buku ini.
0 komentar:
Posting Komentar