ARTIKEL>>TUGAS MATA KULIAH LANDASAN PENDIDIKAN>>



0 komentar


Grup Parenting Sebagai Layanan dalam Pendidikan Inklusi di Sekolah Dasar
(Parenting Gruop Classes as Services in Inclusion Education in Primary School)

M. Ziyan Takhqiqi Arsyad
S2 Pendidikan Dasar-Pascasarjana Universitas Negeri Malang
email: kotaksuratziyan@gmail.com
Abstract
Parenting is given to increase knowledge of the children’s progress so parents can improve foster patterns and education at home can be aligned with education at a school. Currently there are many primary schools that runs parenting as a program from school.
In modification curriculum development can be used as a service in education. In its implementation parenting can be used for social consultant for parents. Parenting services can also be used as a meeting for parents of crew members in order to each other motivate and share experience. Parenting  integrated as a supporter of education inclusion will strengthen synergy between parents and school.

Keywords: children with spesial needs, parenting program, education service, inclusion education
Abstrak
Anak berkebutuhan khusus (ABK) pada dasarnya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Hak yang sama dapat diperoleh jika anak ABK dapat diterima dengan baik di lingkungannya. Penyebab ABK kurang dapat diterima keberadaannya salah satunya pemahaman yang kurang baik terhadap ABK. Orang tua dan guru memiliki peran vital untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi ABK. Sinergi yang baik antara orang tua dan pihak sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi untuk ABK sangat dibutuhkan.
Parenting diberikan untuk menambah pengetahuan tentang perkembangan anaknya sehingga orang tua dapat memperbaiki pola asuh dan pendidikan di rumah dapat selaras dengan pendidikan di sekolah. Saat ini banyak sekolah dasar yang menyelenggarakan parenting sebagai program dari sekolah.
Dalam modifikasi pengembangan kurikulum parenting dapat dijadikan sebagai layanan dalam pendidikan. Dalam pelaksanaannya parenting dapat dijadikan sarana konsultasi orang tua. Layanan parenting juga dapat dijadikan pertemuan bagi orang tua dari ABK agar dapat saling memotivasi dan berbagi pengalaman. Parenting diintegrasikan sebagai pendukung dari pendidikan inklusi akan menguatkan sinergi antara orang tua dan pihak sekolah.

Kata kunci: anak berkebutuhan khusus, program  parenting, layanan pendidikan, pendidikan inklusi



PENDAHULUAN
Anak berkebutuhan khusus (ABK) pada dasarnya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Dengan keterbatasan yang dimiliki ABK dianggap sulit untuk menyamai perncapaian siswa pada umumnya. Pandangan tersebut sudah terkonstruksi di masyarakat luas termasuk di sekolah sebagai penyelenggara pendidikan. Akan sangat sulit menciptakan lingkungan belajar yang baik jika ABK selalu dipandang sebelah mata.
Pendidikan inklusi merupakan sebuah upaya untuk mengakomodasi kebutuhan khusus siswa ABK untuk dapat belajar dengan optimal. Pada kenyataannya penyelenggaraan pendidikan inklusi di Indonesia  juga masih banyak hambatan. Bahkan orang tua ataupun guru terkadang juga kurang bisa menerima keberadaan ABK sehingga mempengaruhi perlakuan pada ABK. Ketika orang tua belum dapat menerima ABK maka akan cenderung memperlakukannya terlalu protektif atau cenderung akan membiarkan perilaku ABK tanpa ada kontrol (Duriana, 2015: 22). Pendidikan inklusi juga harus didukung oleh peran serta orang tua.
Salah satu peran orang tua untuk mendukung pendidikan inklusi adalah memberikan pola asuh (parenting) yang tepat. Dengan kondisi yang sudah dijelaskan pada paragraf di atas, jika orang tua kurang dapat menerima ABK dapat mengarah pada pengasuhan tidak tepat (disfungsional). Maka dari itu, layanan berupa program parenting untuk mendukung pendidikan inklusi di sekolah dasar untuk menambah pengetahuan tentang perkembangan ABK sehingga orang tua dapat memperbaiki pola asuh dan menyelaraskan dengan pendidikan di sekolah.
Program parenting sebagai layanan dalam pendidikan inklusi juga merupakan modifikasi dalam pengembangan implementasi kurikulum. Parenting beberapa tahun terakhir juga sudah cukup populer dan diminati orang tua, terutama di sekolah dasar swasta unggulan. Program parenting dapat menguatkan sinergi antara orang tua dan pihak sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi.
Menurut Ary dan Cheser (2011: 72) banyak sekali hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah dalam pendidikan membutuhkan penegasan dan perluasan. Penelitian yang terkait dengan program parenting bagi orang tua yang memiliki ABK sudah dapat ditemukan dalam berbagai jurnal ilmiah. Pertama, penelitian oleh Whittingham dan timnya mengenai Positive Parenting Program (Triple P) pada orang tua yang memiliki anak yang didiagnosis gangguan autis. Kedua, penelitian serupa dilakukan oleh Duriana yang juga berfokus pada Triple P yang berfokus pada mengukur penurunan pengasuhan disfungsional oleh orang tua yang memiliki ABK dengan diagnosis ADHD. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa pengasuhan yang tepat sangat penting bagi pendidikan ABK. Gagasan tersebutlah yang perlu dipertegas secara ilmiah dan pembahasan yang menggambarkan prosedural program parenting untuk mendorong implementasi pendidikan inklusi di Indonesia.
PEMBAHASAN
Anak Berkebutuhan Khusus
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam beberapa literatur dikenal dengan anak berkelainan. Menurut Hallahan dan Kauffman (dalam Effendy, 2008: 2) anak berkebutuhan khusus atau anak bekelainan adalah anak yang berbeda dari rata-rata pada umumnya, dalam hal fisik, mental, maupun karakteristik perilaku sosialnya. Dalam keseharian harus sangat berhati-hati dalam menggunakan istilah ABK karena dapat menimbulkan salah tafsir. Contohnya seorang anak yang terbelakang semu, karena akibat traumatik nampak seperti terbelakang mental. Setelah melalui penanganan khusus gejala sebelumnya tidak nampak. Keterbelakangan mental semu tersebut karena tertutupnya kemampuan anak yang sebernarnya (Efendy, 2008: 3)
Untuk memahami lebih lanjut mengenai anak berkebutuhan khusus perlunya memahami makna dari disabilitas dan handicap. Disabilitas merupakan keadaan aktual fisik, mental, dan emosi yang menggambarkan ketidakmampuan yang dimiliki individu, sedangkan handicap adalah keterbatasan yang terjadi pada individu akibat disabilitas (Smith, 2012: 32). Contoh ketidakmampuan atau disability yaitu orang tersebut tidak mampu melihat atau mendengar. Handicap lebih sering karena atau aggapan terhadap seseorang yang memiliki disabilitas dari pada kebutuhan objektif individu tersebut. Contohnya orang yang tunarungu mungkin akan lebih sulit untuk hidup di masyarakat. Sebenarnya pemahaman tentang disabilitas dicetuskan untuk memunculkan motivasi dan suatu tindakan agar dapat memberikan yang terbaik bagi ABK (Smith, 2012: 32). Jadi, sangat penting mengkonstruksi pemahaman tentang ABK di masyarakat untuk menerima dan memperlakukan ABK dengan sebaik mungkin.
Menurut Efendy (2008: 4) anak berkelainan sesuai dengan praktik pendidikan di Indonesia di kasifikasikan menjadi tiga yaitu kelainan fisik, mental, dan karakteristik sosial.  Dalam Permendiknas no 70 tahun 2009 dijelaskan tentang anak berkelainan yaitu setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Secara fisik, mental, ataupun emosi memang terjadi perbedaan diantara anak-anak, namun dari perbedaan-perbedaan itu akan dapat digali dan temukan persamaannya (Suparno, 2010: 4). Artinya, bahwa pada anak-anak berkebutuhan khusus itu atau sisi kebutuhan mereka yang sama dengan kebutuhan anak-anak pada umumnya, terutama adalah kebutuhan dalam memperoleh pendidikan. Dengan pemahaman tersebut dapat menjadi dasar untuk memberikan pendidikan inklusi bagi anak ABK.

Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi merupakan upaya solutif pendidikan untuk memberikan pendidikan yang baik bagi ABK. Pijakan dasar penerapan pendidikan inklusi di Indonesia adalah Peratumendiknas No. 70 Tahun 2009 yang di dalamnya tercantum siswa ABK diberikan kesempatan untuk mengikuti pembelajaran bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Satuan pendidikan dalam mengimplementasikan kurikulum 2013 selayaknya menyesuaikan dengan prinsip pengembangan yang di dalamnya mengakomodasi pengembangan kemampuan dalam perberbedaan dan relevan dengan kebutuhan hidup. Dapat dikatakan kurikulum 2013 sangat mendukung penerapan pendidikan inklusi.            Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Pendidikan inklusi atau pendidikan khusus adalah pendidikan yang dimodifikasi untuk siswa yang layak mendapatkan layanan khusus untuk membantu memenuhi kebutuhan yang berbeda pada siswa pada umumnya (Friend dan Bursuck, 2015: 6). Modifikasi pendidikan tersebut sebagian besar yang dimaksud adalah penyediaan layanan khusus untuk siswa ABK. Pendidikan inklusi bukan hanya pada keterampilan akademis, lebih jauh juga menyinggung keterampilan komunikasi, keterampilan sosial, dan ranah apapun yang terkait dengan kebutuhan khusus ABK.
Menurut Suparno (2010:2) pendidikan inklusif pada beberapa dekade terakhir sudah mulai menunjukkan perkembangan dalam upaya memenuhi hak dan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia.
Prinsip dalam pendidikan inkulsi menurut Efendy (2008, 24) yaitu:
1)      Prinsip kasih sayang; pada dasarnya prinsip ini adalah menerika ABK sebagaimana adanya dan mengupayakan mereka menjalani hidup seperti anak normal lainnya.
2)      Prinsip layanan individual; pelayanan ini diberikan dalam rangka mendidik ABK perlu mendapatkan porsi lebih besar dari pada anak normal.
3)      Prinsip kesiapan; untuk menerima pengajaran membutuhkan kesiapan. Setiap ABK perlu dibutuhkan untuk menguasai prasyarat pengetivaahuan, fisik, dan mental agar benar-benar siap mendapatkan pengajaran.
4)      Prinsip keperagaan; pada prinsip ini untuk memperlancar pengajaran ABK perlu diberikan bantuan peraga dan media.
5)      Prinsip motivasi; menitik beratkan pada evaluasi pengajaran yang disesuaikan dengan kondisi ABK.
6)      Prinsip bekerja kelompok; ABK dibimbing agar dapat bergaul dengan masyarakat tanpa harus merasa rendah diri sehingga dapat diterima seutuhnya.
7)      Prinsip keterampilan; keterampilan yang diberikan pada ABK dapat berfungsi sebagai sarana edukatif, terapi, dan bekal untuk kehidupannya kelak.
8)      Prinsip penanaman dan penyempurnaan sikap; mungkin didapat sikap yang kurang sempurna diakibatkan kecacatan dari ABK yang memang perlu diperbaiki agar tidak selalu menjadi perhatian orang lain.
Program Parenting Pendidikan Inklusi
Program parenting adalah pendidikan yang diberikan kepada anggota keluarga, khususnya bagi orang tua yang memiliki kemampuan untuk mendidik dan merawat anak untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal (Ganevi, 2013). Sudah menjadi pemahaman formal bahwa pengasuhan yang tepat akan memberikan pengaruh positif dan mendukung perkembangan optimal anak. Menurut Sulthoni (2016: 102) Orang tua sangat membantu dalam memecahkan masalah yang dihadapi anak di sekolah, terutama ketika ia beradaptasi di sekolah. Menyadari pengaruh positif tersebut banyak sekali sekolah yang menjadikan program parenting untuk mendukung pelaksanaan pendidikan di sekolah. Sinergi tersebut merupakan sebuah langkah penting yang dapat diterapkan secara luas untuk mengimplementasikan pendidikan inklusi di Indonesia. Program parenting merupakan kerjasama atau kolaborasi pihak sekolah dengan orang tua dalam rangka optimalisasi pendidikan di rumah dan disekolah.
Beberapa program parenting yang sering dilaksanakan sekolah-sekolah di Indonesia berupa:
1)      Parents gathering atau kelas parenting; pertemuan antar orang tua bersama pihak sekolah untuk saling berbagi pengalaman dan pengantar materi pelaksanaan program parenting yang tepat.
2)      Konsultasi; konsultasi ini merupakan bentuk kolaborasi dengan bantuan konselor atau psikolog yang dapat memberikan informasi berkelanjutan mengenai perkembangan anak pada orang tua.
3)      Seminar; program untuk menambah pengetahuan melalui materi yang diberikan ahli.
Mungkin di lapangan masih banyak program parenting dengan berbagai variasi. Di negara yang pendidikannya maju program parenting sudah dikembangkan oleh profesional dan sudah tersertifikasi sehingga kualitasnya sudah terjamin. Salah satunya adalah triple P yang di pendahuluan sudah sempat disebutkan. Di Indonesia integrasi parenting sebagai bagian dari pendidikan di sekolah paling banyak dilakukan di PAUD. Untuk sekolah dasar terutama pelaksanaan inklusi masih menjadi program yang sulit dijumpai.
Kunci dari integrasi program parenting sebagai layanan dalam pendidikan inklusi adalah kolaborasi pihak sekolah dan orang tua. Perlu dipahami kolaborasi yang merupakan upaya kemitraan antara sekolah dengan orang tua untuk menyelenggarakan layanan pendidikan. Menurut Friend dan Burcuck (2015: 140) kolaborasi lebih mengacu pada upaya sejumlah orang untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dengan melibatkan orang/pihak lain. Kolaborasi dapat tercipta dengan partisipasi dari berbagai pihak yang terlibat. Dalam konseling kolaborasi dipandang penting untuk mengembangkan garis komunikasi dengan keluarga, dapat memanggil orang tua ke rumah atau melakukan kunjungan untuk mempelajari masalah-masalah kritis pada anak (Rahmat dan Herdi, 2014: 140). Pada ABK kolaborasi lebih ditekankan pada pemberian layanan khusus untuk membantu memenuhi kebutuhannya.
Menurut Friend dan Burcuck (2015: 141-144) dalam kolaborasi di sekolah memiliki ciri-ciri khusus, sebagai berikut.
1)      Bersifat sukarela; pihak-pihak yang bekerjasama bisa saja ditugaskan, namun lebih baik jika tidak dipaksa.
2)      Dilandasi kesetaraan; setiap kontribusi dalam kolaborasi dihargai sama.
3)      Saling berbagi tujuan; meski terkadang dalam kolaborasi ada berbagai kepentingan dari pihak yang berbeda agar kolaborasi sukses harus saling memprioritaskan tujuan yang sama.
4)      Tanggung jawab bersama adalah untuk keputusan kunci; keputusan tidak dapat dilimpahkan pada satu pihak saja namun perlu adanya tanggung jawab.
5)      Tanggung jawab bersama terhadap hasil; ciri ini merupakan turunan prinsip keempat, dimana pihak yang berkolaborasi harus saling mempertanggung jawabkan keputusan bersama, hasilnya baik atau buruk.
6)      Dilandaskan pada sumberdaya bersama; setiap pihak yang terlibat dalam kolaborasi berperan serta menyumbang sumber daya.
7)      Kolaborasi adalah sesuatu yang tumbuh; dilandaskan pada nilai saling percaya dan hormat antar partisipasinya.
Sebuah program parenting bernama Grup Stepping Stones Triple P telah dikembangkan untuk orang tua anak-anak dengan cacat perkembangan. Stepping Stones Triple P telah dievaluasi dengan keluarga anak-anak dengan berbagai kecacatan. Program ini melibatkan orang tua dalam sesi kelompok dan konsultasi untuk memperbaiki penggunaan keterampilan mengasuh anak mereka dan untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dalam pengasuhan (Group Stepping Stones Triple P Workbook).
Program ini dikembangkan untuk mempelajari berbagai keterampilan mengasuh menekankan pada perkembangan anak dan menangani perilaku menantang yang muncul. Program ini sesuai untuk membantu orang tua mencegah perkembangan perilaku bermasalah atau untuk mengubah perilaku bermasalah jika terjadi. Adapun prosedur dalam Group Stepping Stones Triple P Workbook, sebagai berikut:
1)      Sesi 1: mengasuh secara positif. Sesi ini memberi orang tua pengantar untuk mengasuh secara positif, penyebab masalah perilaku anak, menetapkan tujuan untuk perubahan, dan bagaimana melacak perilaku anak-anak.
2)      Sesi 2: mempromosikan perkembangan anak. Selama sesi ini, praktisi membahas bagaimana mengembangkannya hubungan positif dengan anak-anak dan bagaimana mendorong perilaku yang diinginkan.
3)      Sesi 3: Mengajarkan keterampilan dan perilaku baru. Sesi ini mengajarkan kepada orang tua berbagai teknik untuk mengajar anak-anak dengan keterampilan kecacatan di berbagai bidang, seperti komunikasi, pemecahan masalah, perawatan diri, dan pengaturan diri.
4)      Sesi 4: Mengelola kebiasaan buruk dan mengasuh anak. Praktisi menawarkan strategi untuk membantu orang tua mengelola kenakalan selama sesi ini. Orangtua juga akan belajar mengembangkan rutinitas pengasuhan untuk didorong anak mengikuti instruksi
5)      Sesi 5: Merencanakan ke depan. Sesi ini mencakup tip bertahan keluarga, mengidentifikasi situasi berisiko tinggi, dan berkembang merencanakan rutinitas ke depan untuk diterapkan dalam beberapa minggu ke depan. Orang tua juga menjadwalkan dan mempersiapkan diri konsultasi telepon
6)      Sesi 6-8: Melaksanakan rutinitas parenting 1-3. Sesi telepon dimulai dengan pemberian praktisi umpan balik penilaian kepada orang tua dan mencatat kemajuan yang telah dibuat. Kemudian sesi dirancang untuk membantu orang tua dalam menerapkan strategi perubahan perilaku dalam rumah berisiko tinggi dan sitasi masyarakat (misalnya bepergian dengan kendaraan umum, potongan rambut, sesi terapi). Praktisi menggunakan umpan balik pengaturan diri sendiri model untuk membantu orang tua mengidentifikasi tujuan untuk perubahan dan pendekatan pemecahan masalah digunakan untuk membantu orang tua selesaikan area kesulitan apa pun.
7)      Sesi 9: Program ditutup. Orang tua kembali untuk sesi kelompok terakhir untuk meninjau kemajuan, melihat cara untuk mempertahankannya perubahan, pemecahan masalah untuk masa depan, dan untuk menutup program.
Grup Stepping Stones Triple P merupakan sebuah contoh dari program parenting yang sudah dikembangkan khusus untuk orang tua dari ABK. Secara prosedural cukup implementatif untuk dilaksanakan sebagai layanan pendidikan inklusi di Indonesia.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pembahasan mengenai ABK atau anak berkelainan tidak dapat lepas dari konstruksi pemahaman di masyarakat. Pemahaman masyarakat yang umumnya memandang ABK adalah anak cacat yang dipandang sebelah mata perlu direkonstruksi. Istilah disabilitas atau penyandang cacat perlu diperkenalkan agar masyarakat lebih memahami dan memperlakukan ABK dengan lebih baik.
Pendidikan inklusi di Indonesia masih dianggap sebagai gagasan yang cukup sulit diimplementasikan. Tenaga profesional merupakan salah satu yang menghambat penyelenggaraan pendidikan inklusi. Tujuan utama pendidikan inklusi di Indonesia adalah penyediaan layanan, terutama layanan khusus untuk membantu ABK memenuhi kebutuhannya.
Program parenting dimana peran orang tua sangat penting di dalamnya dapat mendukung implementasi pendidikan inklusi. Program parenting dalam pemahaman formal dapat menyelaraskan pendidikan di sekolah dengan di rumah serta memberikan dampak baik terhadap perkembangan anak. Hal tersebut menjadi dasar kuat bahwa sinergi antara pihak sekolah dengan orang tua dari ABK perlu dibangun dengan bentuk kolaborasi. Program parenting adalah wadah dari kolaborasi tersebut. Grup Stepping Stones Triple P merupakan sebuah contoh dari program parenting yang sudah dikembangkan khusus untuk orang tua dari ABK di negara maju yang cukup implementatif untuk diterapkan di Indonesia.
Saran
Menurut penulis pemahaman yang benar terhadap ABK sudah saatnya direkonstruksi. Dalam pendidikan terutama, menghindari penetapan status ABK terhadap anak-anak yang belum pasti diiagnosis memiliki disabilitas. Cara pandang yang salah dapat mempengaruhi perlakuan terhadap ABK.
 
Daftar Pustaka
___.___.The Group Stepping Stones Triple P Workbook (Online) http://www.triplep.net/files/8214/3139/5749/Triple_P_Practitioner_Info_Sheet_Grp_Stepping_Stones_UK_2014.pdf (diakses pada 26 Oktober 2017).
Ary, Donald dan Cheser J, Luchy dan Razavieh, Asghar. 2011. Terjemahan Arief Furchan. Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Duriana W, Yeny. 2015. Positive Parenting Program (Triple P) Sebagai Usaha Untuk Menurunkan Pengasuhan Disfungsional Pada Orangtua yang Mempunyai Anak Berkebutuhan Khusus (Dengan Diagnosa Autis dan ADHD). Jurnal Psikologi (Online). Volume 13 Nomor 1. (http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/psiko/article/view/1379/1256) diakses pada 26 Oktober 2017
Efendi, Mohammad. 2008. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara.
Friend, Marilyn dan Bursuck, William D. 2015. Terjemahan Annisa Nuriowandari. Menuju Pendidikan Inklusi; Panduan Praktis Untuk Mengajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ganevi, Noni. 2013. Pelaksanaan Program Parenting Bagi Orangtua Dalam Menumbuhkan Perilaku Keluarga Ramah Anak. Jurnal Pendidikan Luar Sekolah. (Volume 9 Nomor 2).  (http://ejournal.upi.edu/index.php/pls/article/viewFile/5425/3721, diakses pada 28 Oktober 2017)

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81a Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rahmat H., Dede. 2014. Bimbingan Konseling; Kesehatan Mental di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Smith, J. David. 2012. Terjemahan Denis, Ny. Enrica. Sekolah Inklusif; Konsep dan Penerapan Pembelajaran. Bandung: Nuansa.
Sulthoni. 2016. Penanaman Nilai-Nilai Budi Pekerti di Sekolah Dasar. (Online). Jurusan Teknologi Pendidikan, Tahun 25 Nomor 2, hlm 100-108. (http://journal2.um.ac.id/index.php/sd/article/view/1318/684) diakses pada 8 Desember 2017.
Suparno 2010. Pendidikan Inklusif untuk Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Khusus. (Online), Volume 7. Nomor 2. Nopember 2010  (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131572384/Pendidikan%20Inklusif%20untuk%20Anak%20Usia%20Dini.pdf, diakses pada 23 Oktober 2017)
Whittingham, Koa.  Sofronoff, Kate. Sheffield, Jeanie. R. Sanders, Matthew. (2008). Stepping Stones Triple P: An RCT of a Parenting Program with Parents of a Child Diagnosed with an Autism Spectrum Disorder. Springer Science. J Abnorm Child Psychol (2009) 37 (Online). (https://www.academia.edu/18962512/Stepping_Stones_Triple_P_An_RCT_of_a_Parenting_Program_with_Parents_of_a_Child_Diagnosed_with_an_Autism_Spectrum_Disorder?auto=download, Diakses pada 26 Oktober 2017)

0 komentar:

Posting Komentar

newer post older post