Scribo Ergo Sum sering dipakai sebagai tema atau jargon dalam kegiatan kepenulisan. Makna adagium ubahan tersebut kurang lebih adalah “Aku menulis, maka aku ada”. Satu lagi, sepenggal quote Pramodya Ananta Toer yang sering kali dijadikan pemicu semangat untuk berkarya, "Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Lama-kelamaan kalimat-kalimat itu menjadi menjemukan dan menulis menjadi begitu melelahkan. Hal tersebut terus berulang dan seolah-olah menulis hanyalah reuni dalam utopia sesaat menjelang hiatus dan lupa.
Seorang penulis pernah mengungkapkan kalau lebih produktif menulis saat patah hati. Dan, hal tersebut terbukti dengan jumlah karyanya dan yang terakhir menceritakan tentang kisah patah hati. Entah bagaimana, terkadang menulis bisa menjadi euforia untuk merayakan banyak hal, termasuk patah hati dan jatuh cinta. Pengalaman menulis A’an Mansyur dimulai sejak ia tinggal jauh dari ibunya, ia sering menceritakan sesuatu kepada ibunya lewat tulisan. Bagi A’an Mansyur tulisannya lebih mewakili apa yang ingin ia sampaikan kepada ibunya. Setiap orang mungkin perlu berusaha menemukan alasan personal untuk mulai menulis. Justru yang membuat banyak orang tidak lekas mulai untuk menulis bisa jadi adalah ekspektasi untuk bisa menulis karya semonumental tetralogi Bumi Manusia.
Beberapa bulan yang lalu saya ingin menulis puisi tentang pohon Ulin dan Gaharu, tapi sampai saat membuat tulisan ini belum selesai juga. Jika saya teruskan mungkin akan menjadi puisi yang rumpang. Sebenarnya banyak sekali tulisan saya yang belum selesai, bukanya hanya rumpang tapi cuma berupa judul. Berkali-kali, tercecer, dan hilang. Salah satu hal yang saya lakukan untuk menambal tulisan-tulisan yang rumpang dan tak kunjung selesai adalah membaca. Membaca bisa menjadi tulisan lebih berbobot, selain itu juga bisa menjadi jembatan untuk menyambung ide pada saat proses menulis. Apakah membaca bisa meningkatkan keterampilan dan kreatifitas menulis? Bisa jadi iya, tapi yang lebih signifikan adalah proses menulis itu sendiri.
Salah satu cakupan literasi menjelaskan bahwa membaca dan menulis pada dasarnya merupakan seperangkat keterampilan yang berdiri sendiri-sendiri (autonom), ibarat saudara yang hidup dalam satu rumah. Jika mengetik baca-tulis atau reading and writing di mesin pencarian Google akan muncul jutaan hasil pencarian dalam berbagai bentuk tulisan. Rasanya tidak perlu membaca semua tulisan dari hasil pencarian tersebut untuk mulai berliterasi. Ngopi bareng dan saling memberi ruang untuk berbincang. Di kesempatan lain saling melempar canda dalam puisi atau sesekali perlu untuk ngrasani buku (sebutan dari seorang rekan). Kenapa disebut ngrasani buku? Ya mungkin, setidaknya jika tidak dapat ilmunya setidaknya mendapatkan hiburan dari buku yang dirasani. Kalau di kampus dulu saya sering mengikuti sebuah forum bernama Disja atau Diskusi Senja yang mengingatkan pada tiga kata; aksara, pena, dan cakrawala. Ketiga kata tersebut cukup representatif untuk mewakili visi-misi literasi dengan sederhana. Membaca, menulis, dan berpandangan jauh.
0 komentar:
Posting Komentar