Grup Parenting Sebagai Layanan dalam Pendidikan Inklusi
di Sekolah Dasar
(Parenting Gruop Classes as Services in
Inclusion Education in Primary School)
M. Ziyan Takhqiqi Arsyad
S2 Pendidikan Dasar-Pascasarjana Universitas Negeri
Malang
email: kotaksuratziyan@gmail.com
Abstract
Parenting
is given to increase knowledge of the children’s progress so parents can
improve foster patterns and education at home can be aligned with education at
a school. Currently there are many primary schools that runs parenting as a
program from school.
In
modification curriculum development can be used as a service in education. In
its implementation parenting can be used for social consultant for parents.
Parenting services can also be used as a meeting for parents of crew members in
order to each other motivate and share experience. Parenting integrated as a supporter of education
inclusion will strengthen synergy between parents and school.
Keywords: children with spesial
needs, parenting program, education service, inclusion education
Abstrak
Anak berkebutuhan khusus (ABK)
pada dasarnya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Hak yang
sama dapat diperoleh jika anak ABK dapat diterima dengan baik di lingkungannya.
Penyebab ABK kurang dapat diterima keberadaannya salah satunya pemahaman yang
kurang baik terhadap ABK. Orang tua dan guru memiliki peran vital untuk
menciptakan lingkungan yang mendukung bagi ABK. Sinergi yang baik antara orang
tua dan pihak sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi untuk ABK
sangat dibutuhkan.
Parenting diberikan untuk
menambah pengetahuan tentang perkembangan anaknya sehingga orang tua dapat
memperbaiki pola asuh dan pendidikan di rumah dapat selaras dengan pendidikan
di sekolah. Saat ini banyak sekolah dasar yang menyelenggarakan parenting
sebagai program dari sekolah.
Dalam modifikasi pengembangan
kurikulum parenting dapat dijadikan sebagai layanan dalam pendidikan. Dalam
pelaksanaannya parenting dapat dijadikan sarana konsultasi orang tua. Layanan
parenting juga dapat dijadikan pertemuan bagi orang tua dari ABK agar dapat
saling memotivasi dan berbagi pengalaman. Parenting diintegrasikan sebagai
pendukung dari pendidikan inklusi akan menguatkan sinergi antara orang tua dan
pihak sekolah.
Kata
kunci: anak berkebutuhan khusus, program
parenting, layanan pendidikan, pendidikan inklusi
PENDAHULUAN
Anak
berkebutuhan khusus (ABK) pada dasarnya memiliki hak yang sama untuk
mendapatkan pendidikan. Dengan keterbatasan yang dimiliki ABK dianggap sulit
untuk menyamai perncapaian siswa pada umumnya. Pandangan tersebut sudah
terkonstruksi di masyarakat luas termasuk di sekolah sebagai penyelenggara
pendidikan. Akan sangat sulit menciptakan lingkungan belajar yang baik jika ABK
selalu dipandang sebelah mata.
Pendidikan inklusi merupakan sebuah
upaya untuk mengakomodasi kebutuhan khusus siswa ABK untuk dapat belajar dengan
optimal. Pada kenyataannya penyelenggaraan pendidikan inklusi di Indonesia juga masih banyak hambatan. Bahkan orang tua
ataupun guru terkadang juga kurang bisa menerima keberadaan ABK sehingga
mempengaruhi perlakuan pada ABK. Ketika
orang tua belum dapat menerima ABK maka akan cenderung memperlakukannya terlalu
protektif atau cenderung akan membiarkan perilaku ABK tanpa ada kontrol (Duriana,
2015: 22). Pendidikan inklusi juga harus didukung
oleh peran serta orang tua.
Salah satu peran
orang tua untuk mendukung pendidikan inklusi adalah memberikan pola asuh
(parenting) yang tepat. Dengan kondisi yang sudah dijelaskan pada paragraf di
atas, jika orang tua kurang dapat menerima ABK dapat mengarah pada pengasuhan
tidak tepat (disfungsional). Maka dari itu, layanan berupa program parenting untuk mendukung pendidikan inklusi di
sekolah dasar untuk menambah pengetahuan tentang perkembangan ABK sehingga
orang tua dapat memperbaiki pola asuh dan menyelaraskan dengan pendidikan di
sekolah.
Program
parenting sebagai layanan dalam pendidikan inklusi juga merupakan modifikasi
dalam pengembangan implementasi kurikulum. Parenting beberapa tahun terakhir
juga sudah cukup populer dan diminati orang tua, terutama di sekolah dasar
swasta unggulan. Program parenting dapat menguatkan sinergi antara orang tua
dan pihak sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi.
Menurut
Ary dan Cheser (2011: 72) banyak sekali hasil penelitian yang berkaitan dengan
masalah dalam pendidikan membutuhkan penegasan dan perluasan. Penelitian yang terkait dengan
program parenting bagi orang tua yang memiliki ABK sudah dapat ditemukan dalam
berbagai jurnal ilmiah. Pertama, penelitian oleh Whittingham dan timnya
mengenai Positive Parenting Program
(Triple P) pada orang tua yang memiliki anak yang didiagnosis gangguan
autis. Kedua, penelitian serupa dilakukan oleh Duriana yang juga berfokus pada Triple P yang berfokus pada mengukur
penurunan pengasuhan disfungsional oleh orang tua yang memiliki ABK dengan
diagnosis ADHD. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa pengasuhan
yang tepat sangat penting bagi pendidikan ABK. Gagasan tersebutlah yang perlu
dipertegas secara ilmiah dan pembahasan yang menggambarkan prosedural program
parenting untuk mendorong implementasi pendidikan inklusi di Indonesia.
PEMBAHASAN
Anak Berkebutuhan
Khusus
Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam beberapa literatur dikenal dengan anak
berkelainan. Menurut
Hallahan dan Kauffman (dalam Effendy, 2008: 2) anak berkebutuhan khusus atau
anak bekelainan adalah anak yang berbeda dari rata-rata pada umumnya, dalam hal
fisik, mental, maupun karakteristik perilaku sosialnya. Dalam keseharian harus
sangat berhati-hati dalam menggunakan istilah ABK karena dapat menimbulkan
salah tafsir. Contohnya seorang anak yang terbelakang semu, karena akibat
traumatik nampak seperti terbelakang mental. Setelah melalui penanganan khusus
gejala sebelumnya tidak nampak. Keterbelakangan mental semu tersebut karena
tertutupnya kemampuan anak yang sebernarnya (Efendy, 2008: 3)
Untuk
memahami lebih lanjut mengenai anak berkebutuhan khusus perlunya memahami makna
dari disabilitas dan handicap.
Disabilitas merupakan keadaan aktual fisik, mental, dan emosi yang
menggambarkan ketidakmampuan yang dimiliki individu, sedangkan handicap adalah keterbatasan yang
terjadi pada individu akibat disabilitas (Smith, 2012:
32). Contoh
ketidakmampuan atau disability yaitu orang tersebut tidak mampu melihat atau
mendengar. Handicap lebih sering
karena atau aggapan terhadap seseorang yang memiliki disabilitas dari pada
kebutuhan objektif individu tersebut. Contohnya orang yang tunarungu mungkin
akan lebih sulit untuk hidup di masyarakat. Sebenarnya pemahaman
tentang disabilitas dicetuskan untuk memunculkan motivasi dan suatu tindakan
agar dapat memberikan yang terbaik bagi ABK (Smith, 2012: 32). Jadi, sangat
penting mengkonstruksi pemahaman tentang ABK di masyarakat untuk menerima dan
memperlakukan ABK dengan sebaik mungkin.
Menurut Efendy
(2008: 4) anak berkelainan sesuai dengan praktik pendidikan di Indonesia di
kasifikasikan menjadi tiga yaitu kelainan fisik, mental, dan karakteristik
sosial. Dalam Permendiknas no 70 tahun 2009 dijelaskan tentang
anak berkelainan yaitu setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan
tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Secara
fisik, mental, ataupun emosi memang terjadi perbedaan diantara anak-anak, namun
dari perbedaan-perbedaan itu akan dapat digali dan temukan persamaannya
(Suparno, 2010: 4). Artinya, bahwa pada anak-anak berkebutuhan khusus itu atau
sisi kebutuhan mereka yang sama dengan kebutuhan anak-anak pada umumnya,
terutama adalah kebutuhan dalam memperoleh pendidikan. Dengan pemahaman
tersebut dapat menjadi dasar untuk memberikan pendidikan inklusi bagi anak ABK.
Pendidikan
Inklusi
Pendidikan inklusi merupakan upaya
solutif pendidikan untuk memberikan pendidikan yang baik bagi ABK. Pijakan
dasar penerapan pendidikan inklusi di Indonesia adalah Peratumendiknas No. 70
Tahun 2009 yang di dalamnya tercantum siswa ABK diberikan kesempatan untuk
mengikuti pembelajaran bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Satuan
pendidikan dalam mengimplementasikan kurikulum 2013 selayaknya menyesuaikan
dengan prinsip pengembangan yang di dalamnya mengakomodasi pengembangan kemampuan
dalam perberbedaan dan relevan dengan kebutuhan hidup. Dapat dikatakan
kurikulum 2013 sangat mendukung penerapan pendidikan inklusi. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara
bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Pendidikan
inklusi atau pendidikan khusus adalah pendidikan yang dimodifikasi untuk siswa
yang layak mendapatkan layanan khusus untuk membantu memenuhi kebutuhan yang
berbeda pada siswa pada umumnya (Friend dan Bursuck, 2015: 6). Modifikasi
pendidikan tersebut sebagian besar yang dimaksud adalah penyediaan layanan
khusus untuk siswa ABK. Pendidikan inklusi bukan hanya pada keterampilan
akademis, lebih jauh juga menyinggung keterampilan komunikasi, keterampilan
sosial, dan ranah apapun yang terkait dengan kebutuhan khusus ABK.
Menurut Suparno
(2010:2)
pendidikan inklusif pada beberapa dekade terakhir sudah mulai menunjukkan
perkembangan dalam upaya memenuhi hak dan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak
berkebutuhan khusus di Indonesia.
Prinsip dalam
pendidikan inkulsi menurut Efendy (2008, 24) yaitu:
1) Prinsip
kasih sayang; pada dasarnya prinsip ini adalah menerika ABK sebagaimana adanya
dan mengupayakan mereka menjalani hidup seperti anak normal lainnya.
2) Prinsip
layanan individual; pelayanan ini diberikan dalam rangka mendidik ABK perlu
mendapatkan porsi lebih besar dari pada anak normal.
3) Prinsip
kesiapan; untuk menerima pengajaran membutuhkan kesiapan. Setiap ABK perlu
dibutuhkan untuk menguasai prasyarat pengetivaahuan, fisik, dan mental agar benar-benar
siap mendapatkan pengajaran.
4) Prinsip
keperagaan; pada prinsip ini untuk memperlancar pengajaran ABK perlu diberikan
bantuan peraga dan media.
5) Prinsip
motivasi; menitik beratkan pada evaluasi pengajaran yang disesuaikan dengan
kondisi ABK.
6) Prinsip
bekerja kelompok; ABK dibimbing agar dapat bergaul dengan masyarakat tanpa
harus merasa rendah diri sehingga dapat diterima seutuhnya.
7) Prinsip
keterampilan; keterampilan yang diberikan pada ABK dapat berfungsi sebagai
sarana edukatif, terapi, dan bekal untuk kehidupannya kelak.
8) Prinsip
penanaman dan penyempurnaan sikap; mungkin didapat sikap yang kurang sempurna
diakibatkan kecacatan dari ABK yang memang perlu diperbaiki agar tidak selalu
menjadi perhatian orang lain.
Program
Parenting Pendidikan Inklusi
Program
parenting adalah pendidikan yang diberikan kepada anggota keluarga, khususnya
bagi orang tua yang memiliki kemampuan untuk mendidik dan merawat anak untuk
dapat tumbuh dan berkembang secara optimal (Ganevi, 2013). Sudah menjadi
pemahaman formal bahwa pengasuhan yang tepat akan memberikan pengaruh positif
dan mendukung perkembangan optimal anak. Menurut Sulthoni
(2016: 102) Orang tua sangat membantu dalam memecahkan masalah yang dihadapi
anak di sekolah, terutama ketika ia beradaptasi di sekolah. Menyadari pengaruh
positif tersebut banyak sekali sekolah yang menjadikan program parenting untuk
mendukung pelaksanaan pendidikan di sekolah. Sinergi tersebut merupakan sebuah
langkah penting yang dapat diterapkan secara luas untuk mengimplementasikan
pendidikan inklusi di Indonesia. Program parenting merupakan kerjasama atau
kolaborasi pihak sekolah dengan orang tua dalam rangka optimalisasi pendidikan
di rumah dan disekolah.
Beberapa program
parenting yang sering dilaksanakan sekolah-sekolah di Indonesia berupa:
1) Parents
gathering atau kelas parenting; pertemuan antar orang tua bersama pihak sekolah
untuk saling berbagi pengalaman dan pengantar materi pelaksanaan program
parenting yang tepat.
2)
Konsultasi; konsultasi
ini merupakan bentuk kolaborasi dengan bantuan konselor atau psikolog yang
dapat memberikan informasi berkelanjutan mengenai perkembangan anak pada orang
tua.
3)
Seminar; program untuk
menambah pengetahuan melalui materi yang diberikan ahli.
Mungkin
di lapangan masih banyak program parenting dengan berbagai variasi. Di negara
yang pendidikannya maju program parenting sudah dikembangkan oleh profesional
dan sudah tersertifikasi sehingga kualitasnya sudah terjamin. Salah satunya
adalah triple P yang di pendahuluan sudah sempat disebutkan. Di Indonesia integrasi
parenting sebagai bagian dari pendidikan di sekolah paling banyak dilakukan di
PAUD. Untuk sekolah dasar terutama pelaksanaan inklusi masih menjadi program
yang sulit dijumpai.
Kunci
dari integrasi program parenting sebagai layanan dalam pendidikan inklusi
adalah kolaborasi pihak sekolah dan orang tua. Perlu dipahami kolaborasi yang
merupakan upaya kemitraan antara sekolah dengan orang tua untuk
menyelenggarakan layanan pendidikan. Menurut Friend dan Burcuck (2015: 140)
kolaborasi lebih mengacu pada upaya sejumlah orang untuk bekerja sama untuk
mencapai tujuan bersama dengan melibatkan orang/pihak lain. Kolaborasi dapat
tercipta dengan partisipasi dari berbagai pihak yang terlibat. Dalam konseling
kolaborasi dipandang penting untuk mengembangkan garis komunikasi dengan
keluarga, dapat memanggil orang tua ke rumah atau melakukan kunjungan untuk
mempelajari masalah-masalah kritis pada anak (Rahmat dan Herdi, 2014: 140).
Pada ABK kolaborasi lebih ditekankan pada pemberian layanan khusus untuk
membantu memenuhi kebutuhannya.
Menurut
Friend dan Burcuck (2015: 141-144) dalam kolaborasi di sekolah memiliki
ciri-ciri khusus, sebagai berikut.
1)
Bersifat
sukarela; pihak-pihak yang bekerjasama bisa saja ditugaskan, namun lebih baik
jika tidak dipaksa.
2)
Dilandasi
kesetaraan; setiap kontribusi dalam kolaborasi dihargai sama.
3)
Saling
berbagi tujuan; meski terkadang dalam kolaborasi ada berbagai kepentingan dari
pihak yang berbeda agar kolaborasi sukses harus saling memprioritaskan tujuan
yang sama.
4)
Tanggung
jawab bersama adalah untuk keputusan kunci; keputusan tidak dapat dilimpahkan
pada satu pihak saja namun perlu adanya tanggung jawab.
5)
Tanggung
jawab bersama terhadap hasil; ciri ini merupakan turunan prinsip keempat,
dimana pihak yang berkolaborasi harus saling mempertanggung jawabkan keputusan
bersama, hasilnya baik atau buruk.
6)
Dilandaskan
pada sumberdaya bersama; setiap pihak yang terlibat dalam kolaborasi berperan
serta menyumbang sumber daya.
7)
Kolaborasi
adalah sesuatu yang tumbuh; dilandaskan pada nilai saling percaya dan hormat
antar partisipasinya.
Sebuah
program parenting bernama Grup Stepping
Stones Triple P telah dikembangkan untuk orang tua anak-anak dengan cacat
perkembangan. Stepping Stones Triple P telah dievaluasi dengan keluarga
anak-anak dengan berbagai kecacatan. Program ini melibatkan orang tua dalam
sesi kelompok dan konsultasi untuk memperbaiki penggunaan keterampilan mengasuh
anak mereka dan untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dalam
pengasuhan (Group Stepping Stones Triple
P Workbook).
Program
ini dikembangkan untuk mempelajari berbagai keterampilan mengasuh menekankan
pada perkembangan anak dan menangani perilaku menantang yang muncul. Program
ini sesuai untuk membantu orang tua mencegah perkembangan perilaku bermasalah
atau untuk mengubah perilaku bermasalah jika terjadi. Adapun prosedur dalam Group Stepping Stones Triple P Workbook, sebagai
berikut:
1)
Sesi
1: mengasuh secara positif. Sesi ini memberi orang tua pengantar untuk mengasuh
secara positif, penyebab masalah perilaku anak, menetapkan tujuan untuk
perubahan, dan bagaimana melacak perilaku anak-anak.
2)
Sesi
2: mempromosikan perkembangan anak. Selama sesi ini, praktisi membahas
bagaimana mengembangkannya hubungan positif dengan anak-anak dan bagaimana
mendorong perilaku yang diinginkan.
3)
Sesi
3: Mengajarkan keterampilan dan perilaku baru. Sesi ini mengajarkan kepada
orang tua berbagai teknik untuk mengajar anak-anak dengan keterampilan
kecacatan di berbagai bidang, seperti komunikasi, pemecahan masalah, perawatan
diri, dan pengaturan diri.
4)
Sesi
4: Mengelola kebiasaan buruk dan mengasuh anak. Praktisi menawarkan strategi
untuk membantu orang tua mengelola kenakalan selama sesi ini. Orangtua juga
akan belajar mengembangkan rutinitas pengasuhan untuk didorong anak mengikuti
instruksi
5)
Sesi
5: Merencanakan ke depan. Sesi ini mencakup tip bertahan keluarga,
mengidentifikasi situasi berisiko tinggi, dan berkembang merencanakan rutinitas
ke depan untuk diterapkan dalam beberapa minggu ke depan. Orang tua juga
menjadwalkan dan mempersiapkan diri konsultasi telepon
6)
Sesi
6-8: Melaksanakan rutinitas parenting 1-3. Sesi telepon dimulai dengan
pemberian praktisi umpan balik penilaian kepada orang tua dan mencatat kemajuan
yang telah dibuat. Kemudian sesi dirancang untuk membantu orang tua dalam
menerapkan strategi perubahan perilaku dalam rumah berisiko tinggi dan sitasi
masyarakat (misalnya bepergian dengan kendaraan umum, potongan rambut, sesi
terapi). Praktisi menggunakan umpan balik pengaturan diri sendiri model untuk
membantu orang tua mengidentifikasi tujuan untuk perubahan dan pendekatan
pemecahan masalah digunakan untuk membantu orang tua selesaikan area kesulitan
apa pun.
7)
Sesi
9: Program ditutup. Orang tua kembali untuk sesi kelompok terakhir untuk
meninjau kemajuan, melihat cara untuk mempertahankannya perubahan, pemecahan
masalah untuk masa depan, dan untuk menutup program.
Grup Stepping Stones Triple P merupakan sebuah contoh dari
program parenting yang sudah dikembangkan khusus untuk orang tua dari ABK.
Secara prosedural cukup implementatif untuk dilaksanakan sebagai layanan
pendidikan inklusi di Indonesia.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan
Pembahasan
mengenai ABK atau anak berkelainan tidak dapat lepas dari konstruksi pemahaman
di masyarakat. Pemahaman masyarakat yang umumnya memandang ABK adalah anak
cacat yang dipandang sebelah mata perlu direkonstruksi. Istilah disabilitas
atau penyandang cacat perlu diperkenalkan agar masyarakat lebih memahami dan
memperlakukan ABK dengan lebih baik.
Pendidikan
inklusi di Indonesia masih dianggap sebagai gagasan yang cukup sulit
diimplementasikan. Tenaga profesional merupakan salah satu yang menghambat
penyelenggaraan pendidikan inklusi. Tujuan utama pendidikan inklusi di
Indonesia adalah penyediaan layanan, terutama layanan khusus untuk membantu ABK
memenuhi kebutuhannya.
Program parenting
dimana peran orang tua sangat penting di dalamnya dapat mendukung implementasi
pendidikan inklusi. Program parenting dalam pemahaman formal dapat
menyelaraskan pendidikan di sekolah dengan di rumah serta memberikan dampak baik
terhadap perkembangan anak. Hal tersebut menjadi dasar kuat bahwa sinergi
antara pihak sekolah dengan orang tua dari ABK perlu dibangun dengan bentuk
kolaborasi. Program parenting adalah wadah dari kolaborasi tersebut. Grup Stepping Stones Triple P merupakan
sebuah contoh dari program parenting yang sudah dikembangkan khusus untuk orang
tua dari ABK di negara maju yang cukup implementatif untuk diterapkan di
Indonesia.
Saran
Menurut
penulis pemahaman yang benar terhadap ABK sudah saatnya direkonstruksi. Dalam
pendidikan terutama, menghindari penetapan status ABK terhadap anak-anak yang
belum pasti diiagnosis memiliki disabilitas. Cara pandang yang salah dapat
mempengaruhi perlakuan terhadap ABK.
Daftar
Pustaka
___.___.The Group Stepping Stones Triple P Workbook (Online)
http://www.triplep.net/files/8214/3139/5749/Triple_P_Practitioner_Info_Sheet_Grp_Stepping_Stones_UK_2014.pdf
(diakses pada 26 Oktober 2017).
Ary, Donald dan Cheser J, Luchy dan Razavieh, Asghar. 2011.
Terjemahan Arief Furchan. Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Duriana
W, Yeny. 2015. Positive Parenting Program
(Triple P) Sebagai Usaha Untuk Menurunkan Pengasuhan Disfungsional Pada
Orangtua yang Mempunyai Anak Berkebutuhan Khusus (Dengan Diagnosa Autis dan
ADHD). Jurnal Psikologi (Online). Volume 13
Nomor 1. (http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/psiko/article/view/1379/1256)
diakses pada 26 Oktober 2017
Efendi, Mohammad. 2008. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Friend,
Marilyn dan Bursuck, William D. 2015. Terjemahan Annisa Nuriowandari. Menuju Pendidikan Inklusi; Panduan Praktis
Untuk Mengajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ganevi, Noni. 2013. Pelaksanaan Program Parenting Bagi Orangtua Dalam
Menumbuhkan Perilaku Keluarga Ramah Anak. Jurnal Pendidikan
Luar Sekolah. (Volume 9 Nomor 2). (http://ejournal.upi.edu/index.php/pls/article/viewFile/5425/3721,
diakses pada 28 Oktober 2017)
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 Tentang
Pendidikan Inklusi.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81a Tahun 2013
Tentang Implementasi Kurikulum 2013.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rahmat H., Dede.
2014. Bimbingan Konseling; Kesehatan
Mental di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Smith, J. David. 2012. Terjemahan Denis, Ny. Enrica.
Sekolah Inklusif; Konsep dan Penerapan
Pembelajaran. Bandung: Nuansa.
Sulthoni. 2016. Penanaman Nilai-Nilai Budi Pekerti di Sekolah
Dasar. (Online). Jurusan Teknologi Pendidikan, Tahun 25 Nomor 2, hlm
100-108.
(http://journal2.um.ac.id/index.php/sd/article/view/1318/684) diakses pada 8
Desember 2017.
Suparno 2010. Pendidikan Inklusif untuk Anak Usia Dini.
Jurnal Pendidikan Khusus. (Online), Volume 7. Nomor 2. Nopember 2010
(http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131572384/Pendidikan%20Inklusif%20untuk%20Anak%20Usia%20Dini.pdf,
diakses pada 23 Oktober 2017)
Whittingham,
Koa. Sofronoff, Kate. Sheffield, Jeanie. R. Sanders, Matthew. (2008). Stepping Stones Triple P: An RCT of a
Parenting Program with Parents of a Child Diagnosed with an Autism Spectrum
Disorder. Springer Science. J Abnorm Child Psychol (2009) 37 (Online).
(https://www.academia.edu/18962512/Stepping_Stones_Triple_P_An_RCT_of_a_Parenting_Program_with_Parents_of_a_Child_Diagnosed_with_an_Autism_Spectrum_Disorder?auto=download,
Diakses pada 26 Oktober 2017)