Maraknya berita pelecehan seks separuh tahun 2013
menjadikan kecemasan akan tidak sehatnya peran perempuan. Refleksi terhadap
emansipasi yang digadang sebagai jalan pintas akan eksistensi perempuan, akan
mendiagnosis penyakitnya. Hasil diagnosis akan ditestimoni dengan
pemikiran-pemikiran yang sebagai mana adanya.
Sepucuk
Kenangan
Dahulu Siti Nurbaya
sekarang Siti Metropolitan yang sering ganti pacar. Perempuan kini berhak
menentukan jodoh yang ia maui tanpa intervensi orang tua. Secara simbolis
perempuan telah menunjukkan kemampuannya untuk memutar roda kehidupan dan
membuktikan bahwa mereka tidak selalu hidup dengan ketergantungan. Perempuan
juga harus mampu menjawab berbagai masalah sosial yang berkaitan dengan dirinya.
Sepuluh tahun lalu
barangkali masih
menjumpai pertanyaan
berikut dalam pelajaran bahasa Indonesia SD “Siapakah menyiapkan seragam sekolah
kalian?” kesan komunikatif
dan hal yang sederhana disisipkan dalam pertanyaan untuk mengarahkan siswa agar berusaha mengenal peran ibunya. Tak dapat dibayangkan apabila pertanyaan itu
diberikan pada siswa SD jaman sekarang. Beragam jawaban yang bermunculan dari siswa-siswa saat ini bisa saja menimbulkan kecemasan batin. “Dimanakah
sang Ibu?”
Perkembangan karakter
anak sangat dipengaruhi apa yang didapatnya pada usia emasnya (0-5 tahun). Anak
sangat memerlukan bimbingan dan kasih sayang dari seorang ibu. Namun banyak
perempuan tidak menikmati hari-hari cutinya untuk merawat bayinya dan lebih menikmati
pekerjaannya di kantor. Akibatnya, Momong
(bahasa jawa dalam mengasuh anak) akan tergantikan dengan parenting oleh nani yang dianggap sebagai solusi handal.
Sepotong dongeng si
kancil di usia emas anak yang dipersembahkan ibu,
barangkali lebih berguna ketimbang intisari matakuliah psikologi yang akan
didapatnya kelak. Mendengar si kancil yang amat cekatan dan cerdik anak akan menginternalisasinya ke dalam
watak. Sehingga akan ada rangsangan yang mendorong anak cekatan dan cerdas layaknya kancil. Berkat dongeng masa kecil, anak
akan bisa menjelma
menjadi si kancil yang
manusiawi, jelmaan
cerdas serupa Dahlan Iskan atau Jokowi.
Profesi nani memberikan keuntungan dan kerugian. Ibu
dapat terbantu momong anaknya ketika
bekerja. Namun, si anak akan kehilangan masa kecil yang penuh warna bersama
ibunya. Kehilangan ini bisa saja sangat mempengaruhi jiwanya yang haus oleh
kasih sayang. Nantinya akan berpaling pada nuansa perkembangan yang negatif.
Akhirnya, dongeng kancil hanya menyisakan sepotong kenangan dari indahnya
emansipasi yang ditekuni perempuan (sebagai ibu).
Dalam ironi, seorang ibu tidak boleh menyerah meskipun
tidak dapat memberikan pendidikan secara langsung pada anaknya. Ibu dapat
menerapkan banyak alternatif untuk mendidik anaknya. Dengan begitu keseimbangan
antara emansipasi, masa depan anak, dan perannya dalam keluarga tetap terjaga
dan mengesankan sebagai wonder woman.
Karena menurut Pak Pram “A mother knows what her child’s gone through,
even if she didn’t see it her self.”
Problematika
Berkorelasi
Satu masalah
adalah spekulasi awal dari cabang prasangka liar lainnya.
Berita hangat
ayam kampus yang menjadi
tumbal nafsu politikus menimbulkan pertanyaan pada
kebanggaan masyarakat terhadap susila seorang yang terpelajar.
Sedikit koreksi secara personal, orang yang terpelajar harusnya sadar betapa
pentingnya susila. Mengingat, betapa tingginya apresiasi masyarakat Indonesia
terhadap kaum yang terpelajar. Apalagi yang sudah berkuasa, kuasanya tak boleh
diasusilakan. Korelasi antar promblematika harus dipotong secara solutif.
Beberapa waktu lalu
dalam sebuah dialog di TV muncul keprihatinan dari Caca (artis) yang mengatakan “jika mereka bekerja untuk
menutupi kekurangan ekonominya masih lebih mendingan ketimbang mereka melakukan
pekerjaan itu demi kepuasan.” Caca merasa mereka yang bekerja demi memenuhi kekurangan
ekonominya masih dapat kita bantu. Keinginan bertoleransi perlu diapresiasi untuk mewujudkan kepedulian pada sesama. Desakan nafsu dan kebutuhan ternyata mampu meruntuhkan spiritualitas dan
pertahanan mental mahasiswa.
Varian berita ironis
yang isinya pelecehan dan tindak kriminal terhadap perempuan sudah membuat
masyarakat jenuh. Pelecehan seksual dari kalangan pendidik hingga polisi banyak
terkuak. Namun patut disayangkan adalah tidak adanya keterbukaan,
bahkan tekanan dari pihak pelaku yang
mengintimidasi korban. Koreksi kesalahan juga perlu dilakukan pada pihak perempuan. Pemerkosaan
dijalanan mungkin berasal dari keluarga yang ditinggal sosok perempuannya yang
larut dalam emansipasi. Hilangnya
kesadaran akan tanggung jawab bersama menunjukkan
ketahanan sosial masyarakat mulai rapuh. Masalah sosial adalah masalah bersama.
Alasan problematika
yang mendera perempuan bangsa ini mungkin dapat disimpulkan dengan satu
hipotesis berkorelasi. Ayam kampus yang miskin mental, siapa tau juga miskin
jiwa keibuannya. Watak keibuan yang mencerminkan kepedulian dan kasih sayang
yang tulus, pasti dirindukan oleh siapa saja layaknya harta dan kepuasan dunia.
Toleransi dapat dikuatkan dengan toleransi, emansipasi dapat disempurnakan
dengan berbagi peran yang harmonis.
Woman On Fire?
“Looks like a girl, but she's a flame”, sebait lirik “Girl On Fire”. Citarasa musikal dilantunkan
Alicia Keys, menjilat seperti api dengan pesan emosional. Seni musik sebagai salah
satu pesan simbolik yang dapat diterima berbagai kalangan, mungkin dapat digunakan
untuk membakar semangat perempuan saat ini. Dan betapa pentingnya menyadari perempuan
yang berkembang sebagai sosok universal. Dilamar untuk dijadikan pendamping
atau dipromosikan menjadi sekretaris, dan rela di rumah demi mengasuh anak.
Dalam karya sastra, perempuan sering dijadikan simbol realitas. Pramoedya Ananta Toer dalam “Bumi
Manusia”, menyastrakan sosok perempuan di
masa penjajahan dalam bahasa
roman jenaka. Dimunculkanlah perempuan selaku
Nyai Ontosoroh, yang
disimbolkan sebagai seorang perempuan yang dijual oleh orang tuanya untuk menjadi Gundik Belanda. Meski hanya seorang Gundik, berkat ajaran tuan Belandanya Nyai belajar menjadi perempuan bermartabat
dan berintelektualitas. Nyai pantas disebut moyangnya perempuan karir yang cerdas memanajemen
perusahaan, mendidik anak, dan berani membela yang menjadi hak serta impiannya.
Testimoni M. Anwar Djaelani dalam judul “Kartini
Modern, Membaca dan Menulislah” mengimprofisasi wacana menciptakan wanita
intelektual. Satu kutipan menarik dipakai dalam pembukaan tulisan itu “Wanita,
kembalilah ke rumah!” dan kehadirannya di rumah masih dibutuhkan. Kutipan itu
merupakan wujud kepekaan terhadap kenakalan remaja bisa saja dari keluarga yang
sepi dari kasih sayang. Menegaskan peran edukatif perempuan sebagai ibu yaitu mendidik remajanya dengan kasih sayang.
Menyusul kemudian,
tuntutan kesetaraan gender. Perempuan berhak diberikan pengakuan dan
keleluasaan yang setara dari peran-peran yang sudah ada dalam emansipasi.
Semisal untuk promosi jabatan, dibalik intuisi feminimnya, kepemimpinannya berhak diakui.
Dasar kesetaraan gender adalah kesamaan manusia dalam menyentuh puncak kematangannya sebagai individu dan sosial, terlepas dari kodrat yang
sudah diatur dalam keyakinannya. Dan peran perempuan tidak bisa
disamakan dengan monolog.
Mereka berhak
menjerit, bersorak, mengadu, dan menangis dalam menghadapi persamaan peran.
Cak Nun pernah berpendapat “Bukan hitamnya kulit yang diperjuangkan, tapi hak yang tidak didapat karena
warna kulit.” Ungkapan itu dapat dimodifikasi
lagi untuk memperjuangkan kesetaraan gender demi sosok yang kita cintai. Dengan kesetaraan gender, perempuan harus menjaga hak
dalam emansipasi seimbang dengan kewajiban kodratnya.
0 komentar:
Posting Komentar